logo-sekolah-islam-shafta

KHITBAH (TUNANGAN) DALAM ISLAM

pasangan-siluet

Dalam proses menuju pernikahan, kita telah mengenal adanya suatu tradisi yang disebut tunangan. Dalam Islam, proses tunangan disebut juga dengan khitbah. Khitbah adalah mengungkapkan keinginan untuk menikahi seorang perempuan dan memberitahukan keinginan tersebut kepada perempuan tersebut dan walinya. Pemberitahuan itu dapat dilakukan secara langsung oleh lelaki yang hendak meng-khitbah, atau bisa juga dengan cara memakai perantara keluarganya. Jika si perempuan yang hendak dikhitbah atau keluarganya setuju maka tunangan dinyatakan sah. Dengan demikian, hukum dan konsekuensi syariat yang akan saya sebutkan telah berlaku.

Khitbah sebagaimana pendahuluan pernikahan lainnya adalah sebuah cara bagi masing-masing pihak (calon suami-istri) untuk saling mengenal di antara keduanya. Karena khitbah tersebut merupakan jalan untuk mempelaiari akhlak, tabiat, dan kecenderungan masing-masing dari keduanya. Akan tetapi hal itu hanya dapat dilakukan sebatas yang diperbolehkan secara syariat, dan hal itu sudah sangat cukup sekali. Jika telah ditemukan rasa kecocokan dan keselarasan, maka sudah mungkin untuk dilangsungkannya pernikahan yang merupakan ikatan abadi dalam kehidupan. Dengan demikian, kedua belah pihak akan dapat merasa tentram bahwa mereka berdua akan hidup bersama dengan selamat, aman, bahagia, cocok, tenang, dan penuh rasa cinta, yang kesemuanya itu merupakan tujuan-tujuan yang sangat ingin diraih oleh semua pemuda dan pemudi serta keluarga mereka.

Ada kalanya khitbah dilakukan dengan mengungkapkan perasaan cinta secara terang-terangan. Seperti perkataan seorang lelaki yang hendak mengkhitbah, “Saya ingin menikahi si fulanah.” Ada kalanya juga khitbah dilakukan secara implisit atau dengan sindiran dan indikasi. Cara tersebut dilakukan dengan langsung berbicara dengan si perempuan, seperti, “Kamu sangat layak untuk dinikahi”, atau, “Orang yang mendapatkanmu pasti beruntung” atau, “Saya sedang mencari perempuan yang cocok sepertimu”, dan semisalnya.

KONSEKUENSI SETELAH KHITBAH

Khitbah hanyalah sekadar janji untuk menikah, dan bukan merupakan pernikahan itu sendiri. Sesungguhnya pernikahan tidak akan terjadi melainkan dengan diselenggarakannya akad nikah yang sudah makruf. Kedua insan yang telah melakukan prosesi khitbah tetap berstatus sebagai orang lain. Si lelaki tidak diperbolehkan melihat kepada si perempuan melainkan sebatas yang diperbolehkan oleh syariat, yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Undang-undang ahwal syakhshiyyah Syiria Pasal 2 berbunyi: “Khitbah janji untuk menikah, membaca fatihah, menerima mahar dan menerima hadiah bukan merupakan pernikahan itu sendiri.”

Salah satu konsekuensi khitbah adalah haramnya meng-khitbah perempuan yang telah diketahui sah telah dikhitbah oleh orang lain. Ulama telah berijma’ (bersepakat) akan keharaman khitbahnya orang kedua setelah terjadinya khitbah orang pertama, jika khitbah pertama memang telah dengan jelas diterima serta orang pertama tidak memberi izin dan tidak membatalkan khitbahnya. Jika dalam keadaan ini orang kedua tetap mengkhitbah dan menikahi perempuan tersebut maka menurut ijma’ para ulama, dia telah bermaksiat. Hal itu berlandaskan sabda Nabi saw.

لَا يَبِيْعُ أَحَدُكُمْ  عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلاَ يَخْطُبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ إِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ

Janganlah salah seorang di antara kalian menjual barang yang telah dijual kepada saudaranya. Dan janganlah salah seorang di antara kalian meng-khitbah (perempuan) yang dikhitbah oleh saudaranya, kecuali dia mengizinkannya.” (HR. Ahmad Muslim)

Dalam riwayat Imam Bukhari berbunyi,

نَهَى أَنْ يَبِيْعَ الرَّجُلُ علَى بَيْعِ بَعْضٍ أَخِيْهِ، وَلَا يَخْطُبَ علَى خِطْبَةِ أخِيهِ، حتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ

Nabi melarang seorang lelaki menjual barang yang sudah dijual kepada saudaranya. Juga melarang meng-khitbah (perempuan) yang telah di-khitbah oleh saudaranya, hingga orang lelaki yang meng-khitbah sebelumnya membatalkan khitbah-nya atau mengizinkannya untuk meng-khitbah.”

 

Larangan ini sangat jelas dalam mengharamkan orang lain untuk melakukan khitbah kedua setelah khitbah pertama disetujui. Karena hal ini dapat menyakiti orang yang mengkhitbah pertama, menimbulkan permusuhan, dan memuculkan rasa dengki dalam hati. Jika salah satu dari kedua belah pihak yang melakukan khitbah membatalkan atau memberi izin kepada orang lain untuk mengajukan khitbah, maka hal itu diperbolehkan.

Adapun jika khitbah pertama belum selesai, karena hal itu masih dalam taraf dimusyawarahkan atau dalam kondisi ragu-ragu, pendapat yang paling benar adalah tidak diharamkan untuk melakukan khitbah kedua. Akan tetapi dalam kondisi demikian, menurut para ulama madzhab Hanafi, makruh hukumnya dilakukan khitbah kedua, karena secara umum pengertian hadits-hadits di atas melarang khitbah perempuan yang telah di-khitbah oleh orang lain, menjual sesuatu yang sudah dijual kepada orang lain, dan menawar sesuatu yang sudah ditawar orang lain, yaitu setelah terjadi kesepakatan jual-beli dan sebelum akad.

 

Source:

Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqih Islam wa Adillatuhu, Beirut: Darul Fikir, 2020

Author

Latest Post