logo-sekolah-islam-shafta

Sejarah Ilmu Nahwu & Shorof

WhatsApp Image 2023-02-24 at 05.45.55

 

Sejarah yang benar adalah setelah Imam Ali, Nahwi dikembangkan oleh Abu al-Aswad ad-Du’alī. Al-Anbārī dan az-Zujāzī meneguhkan ad-Duʿali sebagai pelatak dasar ilmu ini setelah Imam Ali karena dialah yang mentransmisikan hal ini dari Imam Ali. Sudah menjadi kesepakatan di kalangan ulama Nahwu jika ad-Du’alī lah yang pertama memberikan harakat pada mushaf al-Qur’an. Kebenaran ini hampir tidak bisa kita pungkiri sebab hampir semua generasi salaf dan juga khalaf tidak mempermasalahkannya.

Namun demikian, ilmu baru diberikan dengan nama sebagai ilmu Nahwu justru sepeninggal ad-Du’alī. Pada masa dia, nama ilmu Nahwu adalah al-̵ʿArabiyya. Ibn Ḥajar dalam kitabnya al-Iṣābah menyatakan, “awwalu man ḍabaṭa al-muṣhaf wa waḍaʿa al-ʿarabiyyata Abū al-Aswad,” pertama kali orang yang memberi harakat pada mushaf dan yang meletakkan al-ʿarabiyya adalah Abū al-Aswad. Setelah adl-Du’alī mangkat, maka nama untuk al-ʿarabiyyata digantikan dengan Nahwu. Namun demikian, istilah Nahwu diambil dari pernyataan Abū al-Aswad di depan Imam Ali.

Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. (Arti nahwu secara bahasa adalah arah).

Adapun orang yang pertama kali menyusun kaidah Bahasa Arab adalah Abul Aswad Ad-Duali dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Khalifah Sayidina Ali Bin Abi Thalib.
Terdapat suatu kisah yang dinukil dari Abul Aswad Ad-Duali, bahwasanya ketika ia sedang berjalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam hari, sang anak mendongakkan wajahnya ke langit dan memikirkan tentang indahnya serta bagusnya bintang-bintang. Kemudian ia berkata, ﻣَﺎ ﺃَﺣْﺴَﻦُ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ
“Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan mengkasrah hamzah, yang menunjukkan kalimat tanya.

Kemudian sang ayah mengatakan, “wahai anakku, Bintang-bintangnya”. Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan, “sesungguhnya aku ingin mengungkapkan kekagumman” Maka sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah, “Betapa indahnya langit”.
Bukan, “Apakah yang paling indah dilangit”

Dikisahkan pula dari Abul Aswad Ad-Duali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat At-Taubah ayat tiga dengan ucapan,

ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺑَﺮِﻯﺀٌ ﻣِّﻦَ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴﻦَ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪُ

Dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya “Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya” Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan.
Seharusnya kalimat tersebut adalah,

ﺃَ ﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺑَﺮِﻯﺀٌ ﻣِّﻦَ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴﻦَ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟُﻪُ

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”

Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad Ad-Duali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rusak dan gagahnya Bahasa Arab ini menjadi hilang, padahal hal tersebut terjadi di awal mula daulah Islam.

Kemudian hal ini disadari oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib, sehingga ia memperbaiki keadaan ini dengan membuat pembagian kata, bab inna dan saudaranya, bentuk idhofah (penyandaran), kalimat ta’ajjub (kekaguman), kata tanya dan selainnya, kemudian Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Abul Aswad Adduali,
ﺍُ ﻧْﺢُ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟﻨَّﺤْﻮَ
“Ikutilah jalan ini

Dalam riwayat lain menyebutkan bahwa sejarah kemunculan ilmu nahwu ini ketika zaman Abul Aswad Ad-Duali datang kerumah peuterinya ditanah Basroh(sebuah negri ditanah Iraq)pada saat itu puterinya mengatakan :”Wahai ayahku,kenapa sangat panas?”.Dengan spontan Abul Aswad Ad-Duali menjawab “Bulannya memang musim panas”.Mendengar jawaban itu puterinya langsung berkata “Wahai ayah saya tidak bertanya padamu tentang panasnya bulan ini,tetapi saya memberi kabar padamu tentang kekagumanku tentang panasnya bulan ini.

Sejak kejadian itu Abul Aswad ad-Duali datang kepada sahabat Amirul Mu’minin khalifah ‘Ali RA seraya menceritakan kejaian tadi “Maka buatlah saya sebuah ilmu” kemudian Khalifah ‘Ali membacakan ” Alkalaamu kulluhu yakhruju ‘an ismin wa fi’lin wa harfin ilakh ‘ala hadza annahw( kalam tidak boleh lepas dari kalimat isim,fiil,dan huruf dan teruskan untuk sesamanya. Kemudian Abul Aswad Ad-Duali memengarang bab istifham dan ta’ajjub.

Perkembangan Ilmu Sharaf

Para ulama terdahulu belum memberikan informasi tentang siapa orang yang pertama kali meletakkan ilmu sharaf ini, sebab dahulu mereka memandang ilmu sharaf bukan sebagai ilmu yang berdiri sendiri, namun dia adalah bagian dari ilmu nahwu.

Perkembangannya juga berbarengan dengan ilmu nahwu. Karena pada saat itu antara kedua ilmu tersebut tidak dibedakan, maka ilmu sharaf pada permulaannya juga disebut dengan ilmu nahwu.

Ulama yang pertama kali mencatat peletak pertama ilmu sharaf adalah Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Sulaiman Al-Kafiyaji (W. 879 H), beliau menyebutkan bahwa peletak pertama ilmu sharaf adalah Sahabat Mu’adz bin Jabal RA.

Murid Imam Al-Kafiyaji; Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi (W. 911 H) dalam kitab Al-Iqtirah fi Ilmi Ushul An-Nahwi mengomentari bahwa pendapat gurunya itu salah. Beliau mengaku telah menanyakan tentang pertanyaan gurunya itu namun Imam As-Suyuthi tidak mendapatkan jawaban apapun.

Setelah meneliti lebih lanjut, Imam As-Suyuthi menyebutkan bahwa orang yang pertama kali meletakkan/menjadi penemu ilmu sharaf adalah Mu’adz bin Al-Harra (W. 187 H).

LINK VIDEO

Author

Latest Post

Related Post