logo-sekolah-islam-shafta

sejarah IMF dan kerja sama dg indonesia

Screenshot_2021-02-23_at_10_10_11

mustafik sejarah wajib

sejarah IMF

Sejarah IMF-Bank Dunia
International Monetary Fund (IMF) adalah sebuah lembaga keuangan internasional yang dibentuk dalam sebuah konferensi Bretton Woods tahun 1944. Secara umum lembaga bertujuan untuk memantau dan menstabilkan sistem finansial internasional melalui penyediaan dana-dana jangka pendek guna menanggulangi defisit neraca pembayaran suatu negara. Selain itu, seringkali dikatakan bahwa IMF dibentuk untuk bertindak sebagai bank sentral bagi bank-bank sentral negara-negara anggotanya (Hughes, 1999). Dengan demikian IMF diharapkan dapat memberikan dukungan finansial untuk menghindari persaingan mata uang akibat adanya devaluasi, yang dapat menciptakan ketidakstabilan aliran dana internasional.

Lembaga ini juga dianggap memiliki pengaruh yang besar dalam kebijakan makro ekonomi dan pengucuran dana pinjaman bagi negara-negara yang membutuhkan. IMF seringkali mengaitkan bantuan yang akan diberikannya dengan prasyarat-prasyarat tertentu, seperti mengharuskan negara-negara debitur mengikuti apa yang menjadi kehendak pihak IMF. Karenanya pembiayaan yang berasal dari IMF tersebut bersifat kondisional (bersyarat).

Jika melihat kembali kepada awal pembentukannya, ada beberapa tujuan umum yang menjadi dasar pembentukan institusi keuangan (IMF) ini, seperti tercakup dalam Article 1 dari Articles of Agreement. Pertama, untuk dapat mengembangkan kerja sama keuangan internasional yang berkelanjutan di dalam sebuah institusi yang permanen. Di mana institusi tersebut juga menyediakan alat konsultasi dan kerja sama dalam memecahkan berbagai persoalan keuangan. Kedua, untuk memfasilitasi ekspansi dan penyeimbang pertumbuhan perdagangan internasional, dan memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan dan membangun sumber-sumber produktif dari semua negara anggota yang merupakan objek utama kebijakan ekonomi. Ketiga, untuk meningkatkan stabilitas nilai tukar, untuk memelihara posisi nilai tukar di antara tiap anggota, serta untuk mencegah terjadinya depresiasi.

Keempat, untuk membantu dalam pembentukan sebuah sistem pembayaran multilateral yang dapat diterima semua pihak sehingga tidak menghambat pertumbuhan perdagangan dunia. Kelima, untuk memberikan kepercayaan kepada tiap anggota dengan cara membuat sumber-sumber (baca: pendanaan) yang dapat digunakan sewaktu-waktu sehingga dapat membantu negara-negara yang sedang mengalami kesulitan dalam keseimbangan pembayaran tanpa merusak kemakmuran yang telah ada. Keenam, dalam mempersingkat durasi dan mengurangi tingkat disekuilibrium pembayaran internasional tiap-tiap anggota (Bird, 1995).

Selain IMF, badan dunia lain yang kini juga sangat berperan dalam membantu memulihkan situasi ekonomi Indonesia ialah Bank Dunia (World Bank) atau juga disebut dengan Internasional Bank for Reconstruction and Development (IBRD). Seperti juga IMF, Bank Dunia juga merupakan sebuah institusi keuangan internasional yang terbentuk dari konferensi Bretton Woods tahun 1944. Jika IMF sering dikatakan sebagai bank sentral internasional bagi bank-bank sentral negara-negara anggotanya, maka Bank Dunia dibentuk sebagai penyedia dana dan untuk membantu proyek-proyek yang mendukung pembangunan. Dalam upaya menjamin kelancaran pembayaran kembali bantuan-bantuan tersebut, maka Bank Dunia memberikan dana-dananya pada pemerintah pusat (Hughes, 1999).

Indonesia dan IMF
Hubungan dalam kerangka bantuan ekonomi IMF kepada Indonesia telah lama berlangsung. Pada masa akhir demokrasi terpimpin (kabinet gotong royong di bawah PM Djuanda), Pemerintah Indonesia juga pernah mengajukan bantuan serupa. Hanya saja pada masa itu bantuan yang telah dijanjikan tersebut batal direalisasikan karena adanya masalah-masalah politik yang timbul di dalam negeri. Misalnya saja dengan terjadinya konfrontasi dengan Malaysia dan banyaknya tentangan dari elite partai politik (PKI) pada waktu itu. Presiden Sukarno sendiri tidak terlalu antusias dengan bantuan untuk perbaikan ekonomi tersebut, dan lebih mengonsentrasikan pada  masalah-masalah politik.

Setelah diangkatnya Jenderal Soeharto secara resmi sebagai Presiden Republik Indonesia pada Maret 1968, dimulailah rencana pembangunan di bidang ekonomi. Rencana pembangunan ekonomi jangka panjang yang kemudian dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) ini, secara jelas memiliki perbedaan yang sangat tajam dengan berbagai program pembangunan ekonomi yang pernah diajukan pada masa pemerintahan rezim Soekarno. Sebagai sebuah rezim yang anti komunis, pada saat itu Orde Baru jelas banyak mendapat dukungan dan kemudahan dari negara-negara Barat. Untuk membiayai perbaikan ekonomi pada tahap awal, seperti pengendalian terhadap tingkat inflasi dan sebagainya. Pihak Indonesia juga mendapat bantuan dari IMF, diadakannya penjadwalan ulang (rescheduling) terhadap pembayaran hutang luar negeri serta diikuti dengan pembentukan sebuah lembaga donor internasional Inter-Govermental Group for Indonesia (IGGI).

Ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi di tahun 1997-1998, Indonesia kembali mengundang IMF untuk menyelesaikan krisis ekonomi tersebut. Keterlibatan IMF tersebut diawali dengan dilikuidasinya enam belas bank pada November 1997, sebagai tindak lanjut ditandatanganinya kesepakatan bersama tanggal 31 Oktober 1997 yang sekaligus prasyarat awal diberikannya bantuan oleh IMF. Keterlibatan institusi keuangan internasional ini terus berlanjut ketika pada tanggal 15 Januari 1998, Soeharto sebagai presiden Indonesia menandatangani kesepakatan kedua dengan pihak IMF mengenai bantuan yang akan diberikan untuk mengatasi krisis ekonomi. Kesepakatan atau yang kemudian lebih dikenal dengan Letter of Intent (LoI) tersebut, menjadi legitimasi yang kuat bagi IMF untuk terus terlibat dalam penentuan kebijakan ekonomi Indonesia. Dalam kesepakatan tersebut terdapat tujuh bidang yang menjadi inti program pemulihan.

Salah satu produk yang berhasil dikeluarkan dengan adanya program bantuan IMF tersebut adalah dikeluarkannya UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pada tahun 1999 itu pula, bantuan IMF sempat dihentikan akibat adanya kasus Bank Bali. Pemerintah ketika itu menolak untuk memberikan hasil audit atas kasus bank Bali. Akibatnya, pada September 1999, IMF menghentikan bantuannya kepada Indonesia. Bantuan IMF kembali dilanjutkan pada Januari 2000 setelah Gusdur terpilih menjadi presiden. Program ini berlanjut hingga Desember tahun 2002.

Letter of Intent atau yang dalam dokumennya dinamakan dengan Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) adalah sebuah kesepakatan bersama antara Pemerintah Indonesia dengan IMF. Kesepakatan ini sendiri setiap tiga bulan mengalami revisi yang dilakukan oleh kedua pihak. Hingga akhirnya pada Juli 2003, pemerintah ketika itu memutuskan untuk tidak melanjutkan bantuan IMF. Dalam kerangka itu kemudian pada September 2003 disusun sebuah exit strategy ‘Paket kebijakan Pra dan Pasca IMF’ yang kemudian banyak dikenal dengan nama White Paper. Dalam dokumen tersebut beberapa hal yang menjadi pertimbangan adalah persoalan financial gap yaitu kebutuhan pembiayaan pemerintah dan credibility gap yaitu hal-hal yang menyangkut  sentimen pasar akibat pemberhentian bantuan IMF. LoI terakhir ditandatangani pada 10 Desember 2003 (Aswicahyono & Christian, 2017)

Kesepakatan semacam ini tidak hanya dikenakan pada Indonesia. Tetapi kesepakatan LoI ini merupakan perlakuan umum yang diberlakukan oleh IMF kepada setiap negara yang menjadi “pasiennya”. Letter of Intent ini pada umumnya merupakan hal-hal yang menjadi orientasi utama pemerintah negara kreditor dalam kebijakan makroekonomi dan penanganan hutang untuk kemudian diidentifikasi oleh IMF. Agar pada proses selanjutnya IMF dapat memberikan garis kebijakan (policy guidelines) dan technical advice kepada pemerintah yang bersangkutan dalam membenahi perekonomiannya. Proses identifikasi inilah yang kemudian sering dikenal dengan nama “IMF Shadow Programme” (Chossudovsky, 1997).

Kelanjutan Reformasi Ekonomi
Berangkat dari berbagai hal tersebut, maka kehadiran IMF terutama pada saat terjadinya krisis ekonomi 1997-1998 telah memberikan dasar yang kuat dalam reformasi ekonomi Indonesia. Terutama dalam penguatan makroekonomi. Berbagai kebijakan seperti UU Bank Indonesia dan berbagai kebijakan lainnya, telah kembali menempatkan ekonomi Indonesia yang relatif lebih stabil dan pasti. Namun demikian berbagai kebijakan mikro masih terus menjadi kendala dalam proses reformasi ekonomi hingga saat ini.

Pertama, terkait dengan privatisasi yang berjalan dengan lambat. Kedua, adanya pembatalan UU ketenagalistrikan oleh MK. Hal ini semakin diperparah ketika pada pemerintahan SBY periode kedua lebih menekankan pada kebijakan yang cenderung proteksionisme (Aswicahyono & Christian, 2017). Kebijakan tersebut tidak mengherankan karena pada masa SBY periode kedua inilah Indonesia tengah menikmati rezeki harga komoditas yang cukup tinggi. Sebaliknya, di masa pemerintahan Jokowi, rendahnya sumber pendapatan dari komoditas mengharuskan peningkatan peran yang lebih signifikan dari pihak swasta. Karenanya, konsistensi implementasi atas berbagai paket kebijakan yang telah dikeluarkan menjadi salah satu solusi dari pelaksanaan reformasi ekonomi yang telah dimulai oleh IMF pasca krisis.   

Author

Latest Post

Related Post