MAKNA IDUL ADHA

IMG-20230628-WA0034

Sejarah Idul Adha

Dari sisi sejarah, perayaan Idul Adha ini membuat kita mengingat kembali kisah teladan Nabi Ibrahim AS beserta anaknya Nabi Ismail AS. Pada pada saat itu Allah SWT memerintah mereka untuk menempati sebuah lembah yang tandus, gersang, bahkan tak ada satu pun pohon yang tumbuh di sekitarnya.

Lembah itu sepi dan sunyi. Tak ada seorang pun yang ada di sana.

Perintah Allah SWT tersebut dijalankan Nabi Ibrahim AS sekeluarga dengan ikhlas dan penuh tawakkal. Hal ini diabadikan dalam Al-Quran yang berbunyi:

رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ الصَّلاَةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ

Artinya: “Ya Tuhan kami sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di suatu lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumahmu (Baitullah) yang dimuliakan. Ya Tuhan kami (sedemikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah gati sebagia manusia cenderung kepada mereka dan berizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS Ibrahim: 37)

Seperti yang diceritakan oleh Ibnu Abbas, Siti Hajar dihadapkan dengan kondisi kehabisan air minum, yang menyebabkan dirinya tidak bisa menyusui Nabi Ismail AS.

Ia kemudian mencari air kesana kemari sambil berlari kecil (Sa’i) antara bukit Sofa dan Marwah sebanyak 7 kali.

Tiba-tiba saja, Allah SWT mengutus Malaikat Jibril membuat mata air Zam Zam. Siti Hajar dan Nabi Ismail pun memperoleh sumber kehidupan.

Lembah yang mulanya gersang dan tandus itu, berubah drastis memiliki persediaan air yang melimpah ruah.

Hal itu menyebabkan manusia dari berbagai pelosok pun datang untuk memperoleh air yang ada di tempat tersebut, khususnya para pedagang. Lembah tersebut seketika menjadi populer di Kota Makkah.

Nabi Ibrahim AS beserta keluarganya pun mengelola kota dan masyarakat dengan sangat baik. Kota Makkah yang aman dan makmur itu dilukiskan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dalam Al-Quran, dengan bunyi:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـَذَا بَلَداً آمِناً وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُم بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

Artinya: Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo’a: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, sebagai negeri yang aman sentosa dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kiamat.” (QS Al-Baqarah: 126)

Ayat tersebut menggambarkan bukti yang jelas bahwa Kota Makkah yang saat ini tampak di mata masyarakat dunia memiliki kemakmuran yang melimpah juga disebabkan oleh doa Nabi Ibrahim AS.

Bahkan, jamaah haji dan umrah dari segala penjuru dunia pun mendapatkan fasilitas yang memadai di Kota Makkah tersebut.

Pada zaman Nabi Ibrahim AS juga, tak hanyaumat Islam saja yang dapat menikmati kemakmuran Kota Makkah, sebagaimana yang difirmankan Allah SWT:

قَالَ وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلاً ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Artinya: “Dan kepada orang kafirpun, aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka. Dan itulah seburuk buruk tempat kembali.” (QS. Al-Baqarah: 126)

Selain kemakmuran itu,Nabi Ibrahim AS diberikan perintah dan ujian paling berat untuk mengurbankan anaknya sendiri. Kesabaran dan ketabahan Nabi Ibrahim AS dalam menghadapi ujian dan cobaan tersebut, Ia pun diberikan anugerah kehormatan oleh Allah SWT dengan sebutan “Khalilullah” atau kekasih Allah.

Malaikat kemudian bertanya kepada Allah, “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menjadikan Ibrahim sebagai kekasihmu. Padahal ia disibukkan oleh urusan kekayaannya dan keluarganya?”

Allah SWT menjawab dengan firman-Nya:

“Jangan menilai hambaku Ibrahim ini dengan ukuran lahiriyah, tengoklah isi hatinya dan amal baktinya!”

Sebagai realisasi dari firman ini, Allah SWT pun mengizinkan para malaikat untuk menguji keimanan serta ketakwaan Nabi Ibrahim AS. Ternyata, kekayaan dan keluarganya tidak membuat Nabi Ibrahim AS lalai dalam ketaatannya kepada Allah SWT.

Dalam kitab “Misykatul Anwar” yang menyatakan bahwa konon, Nabi Ibrahim memiliki kekayaan 1.000 ekor domba, 300 lembu, dan 100 ekor unta.

Dalam riwayat lainnya juga dikatakan, kekayaan Nabi Ibrahim mencapai 12.000 ekor ternak yang dinilai sangat fantastis jumlahnya, bahkan menurut orang di zamannya adalah tergolong milliuner.

Kemudian, pada suatu hari, Ibrahim ditanya oleh seseorang, “Milik siapa ternak sebanyak ini?”

Maka dijawabnya, “Kepunyaan Allah, tapi kini masih milikku. Sewaktu-waktu bila Allah menghendaki, aku serahkan semuanya. Jangankan cuma ternak, bila Allah meminta anak kesayanganku Ismail, niscaya akan aku serahkan juga.”

Dalam tafsir Al-Qur’anul ‘adzim yang dikemukakan Ibnu Katsir disebutkan bahwa pernyataan Nabi Ibrahim yang akan mengorbankan anaknya jika dikehendaki oleh Allah itu lah yang kemudian dijadikan bahan ujian.

Allah menguji iman dan takwa Nabi Ibrahim AS melalui mimpinya yang haq, agar ia mengorbankan putranya yang kala itu masih berusia 7 tahun untuk disembelih dengan menggunakan tangannya sendiri.

Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran Surah As-Saffat ayat 102:

…قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Artinya: “… (Ibrahim) berkata, “Wahai anakkku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka bagaimana pendapatmu? Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”

Singkat cerita, ketika Nabi Ibrahim AS sudah memantapkan diri untuk menyembelih Nabi Ismail AS dengan penuh keikhlasan, Allah SWT melanjutkan firman-Nya dalam Al-Quran Surah As-Saffat 107-110 yang berbunyi:

وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ

Artinya: “Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”

وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ

Artinya: “Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) dikalangan orang-orang yang datang kemudian.”

سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ

Artinya: “Yaitu kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada Nabi Ibrahim.”

كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ

“Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”

 

Makna Idul Adha

Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim AS untuk mengorbankan anak kandungnya demi mengikuti perintah Allah, membuatnya menjadi seorang Nabi dan Rasul yang besar dalam Islam.

Kisah tersebut memiliki makna yang dapat diteladani oleh umat Muslim. Beberapa pelajaran diantaranya:

1. Ketakwaan

Pengertian takwa sendiri berkaitan dengan ketaatan seorang hamba pada Sang Khalik dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Koridor agama (Islam) mengemas kehidupan secara harmoni seperti halnya kehidupan dunia-akhirat.

Ketaatan Nabi Ibrahim AS ini lah yang perlu menjadi patokan dalam menjalankan perintah Allah SWT, bahkan ketika Ia diperintahkan untuk menyembelih anak kandungnya sendiri, Nabi Ismail AS.

2. Hubungan Antar Umat Manusia

Salah satu ibadah umat Islam yang diperintahkan Allah SWT adalah dengan mempererat hubungan antar manusia atau hablumminannas.

Hal itu dapat diwujudkan dengan meningkatkan kepedulian dan solidaritas serta kepekaan sosial melalui hubungan antar manusia tersebut.

Bahkan, salah satu ajaran Islam, yaitu berpuasa juga dilaksanakan agar merasakan hidup seorang dhuafa yang tak bisa memenuhi kebutuhannya sehari-hari, khususnya makanan.

Dengan menyembelih hewan qurban dan membagikannya kepada kalangan tidak mampu juga merupakan salah satu bentuk kepedulian sosial seorang Muslim kepada sesamanya.

3. Peningkatan Kualitas Diri

Dari kisah Nabi Ibrahim AS tersebut, beberapa ciri dan cikal bakal akhlak terpuji seorang Muslim telah dicontohkannya dalam menghadapi ujian dan cobaan yang diberikan Allah SWT.

Kegigihan keluarga Nabi Ibrahim AS juga ditunjukkan dengan menempati lembah yang gersang dan tandus, untuk selanjutnya diberikan Allah SWT mata air Zamzam yang sampai saat ini juga tidak pernah kering.

Hikmah yang dapat diambil dari pelaksanaan salat Idul Adha adalah bahwa pada hakikatnya manusia adalah sama. Yang membedakan hanyalah ketakwaannya.

Bagi yang menunaikan ibadah Haji, pada waktu wukuf di Arafah juga memberikan gambaran bahwa kelak manusia akan dikumpulkan di Padang Mahsyar untuk dimintai pertanggungjawaban selama hidupnya.

Sumber: NU Online, Detik.com

 

Author

Latest Post

Related Post