KEPEMILIKAN (MILKIYAH)
KOMPETENSI INTI (KI)
1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
2. Menunjukan perialku jujur, disiplin, bertanggung jawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia
3. Memahami, menerapkan dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya dan humanoria dengan wawasan kemanusian, kebangsaan, kenegaraan dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecah
kan masalah
4. Mengolah, menalar dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan
KOMPETENSI DASAR (KD)
1.6 Menghayati konsep tentang akad, kepemilikan harta dengan ihyaul mawaat
2.6.Mengamalkan tanggung jawab sebagai implementasi dari mempelajari konsep tentang akad, kepemilikan harta dengan ihyaul mawaat
3.6.Menganalisis konsep akad, kepemilikan harta dengan ihyaul mawaat
4.6 Menyajikan konsep akad, kepemilikan harta dengan ihyaul mawaa
INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI (IPK)
Peserta didik mampu:
1.6.1. Meyakini hikmah dari pelaksanaan akad, kepemilikan dan ihyaul mawaat
1.6.2. Menyebarluaskan konsep pelaksanaan dari sebuah akad, kepemilkan harta serta ihyaul mawat
2.6.1. Memelihara sikap peduli, tanggung jawab sebagai implementasi dari mempelajari qurban dan akikah
3.6.1. Mengolah data ketentuan pelaksanaan akad, kepemilikan dan ihyaul mawaat
3.6.2. Menyimpulkan ketentuan pelaksanaan akad, kepemilikan dan ihyaul mawaat serta hikmahnya
4.6.1. Menulis laporan hasil analisis ketentuan pelaksanaan akad, kepemilikan dan ihyaul mawaat
4.6.1. Mempresentasikan hasil analisis ketentuan pelaksanaan qurban dan akikah sesuai syariat
MATERI PEMBELAJARAN A. KEPEMILIKAN (MILKIYYAH)
1. DALIL Dalil yang mendasari legalitas kepemilikan adalah firman Allah Swt. QS. Al-Aḥzāb (33) : 50 َ
َ
أَ ماا ِمَ َكُين ِمَيَ ْتَكَلَمَاَمَ وَنا ُهَ ور ُجُأَ َتْيَآتَيِ ا ت ًالَ َكَ اج َ وْ ز
َ
أَ َكَلَاَنْلَلْحَأَ ناا ِ إَُّيِ الناب َاَ هُّ ي
َ
َُ أ ا َاَي اللَََّاء َف ََ َ)35(الْحزابَ:ََ كْيَلَع
“Hai Nabi, Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang Termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu”. (QS. AlAhzāb [33] : 50)
Kepemilikan
Kepemilikan Utuh Kepemilikan Tidak Utuh
Al-Uqūd Kepemilikan Barang Kepemilikan Manfaat
Khalafiyyah
Istīlā’ ‘Alā Al-Mubāh
Tawallud Min al-Mamlūk
FIKIH X 105
2. DEFINISI Kepemilikan adalah hubungan secara syariat antara harta dan seseorang yang menjadikan harta terkhusus kepadanya dan berkonsekuensi boleh ditasarufkan dengan segala bentuk tasaruf selama tidak ada pembekuan tasaruf. Seseorang yang mendapatkan harta dengan cara yang dilegalkan syariat maka harta tersebut terkhusus kepadanya, boleh dimanfaatkan dan ditasarufkan kecuali orang-orang yang dibekukan tasarufnya seperti anak kecil dan orang gila. Adapun tasaruf wali anak kecil dan wakil (dalam transaksi wakālah) terhadap suatu barang bukan atas nama kepemilikan, namun atas nama pergantian (niyābah) yang dilegalkan syariat. 3. MACAM-MACAM KEPEMILIKAN Macam-macam kepemilikan ada dua. Yakni kepemilikan utuh dan kepemilikan tidak utuh. a. Kepemilikan Utuh Kepemilikan utuh adalah kepemilikan seseorang terhadap barang sekaligus manfaatnya. Maka ia bebas mentasarufkan barang tersebut baik tasaruf terhadap barang dan manfaatnya seperti menjual, mewakafkan, menghibahkan dan mewasiatkan atau tasaruf terhadap manfaatnya saja seperti menyewakan dan meminjamkan. Sebab-sebab kepemilikan utuh ada empat: 1) Istīlā’ ‘Alā Al-Mubāḥ Yaitu kepemilikan seseorang terhadap barang yang belum pernah berada dalam kepemilikan seseorang dan tidak ada larangan syariat untuk memilikinya. Seperti penangkapan ikan di laut, mengambil air dari sumber dan berburu hewan. Syarat-syarat kepemilikan dengan cara istīlā’ ‘alā al-mubāḥ ada dua: a) Belum pernah berada dalam kepemilikan seseorang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw: )
(رواه أبو داود ُهَ ل َوُهَ م ف ِلْسُ م ِهْيَلِ إ ُهْقِبْسَ ي ْمَ ا ل َ ى م َلِ إ َقَبَ س ْنَم
“Barang siapa lebih dahulu (memiliki) barang yang belum pernah menjadi milik orang islam maka barang tersebut menjadi miliknya”. (HR. Abu Daud) b) Kesengajaan untuk memiliki. Jika tidak ada kesengajaan maka tidak berkonsekuensi kepemilikan. Seperti burung yang masuk ke kamar seseorang.
2) Al-‘Uqūd Yaitu kepemilikan seseorang terhadap barang dengan cara transaksi. Seperti transaksi hibah (pemberian), bai’ (jual beli), i’ārah (pinjam meminjam) dan yang lain. Sebab kepemilikan utuh berupa transaksi adalah hal yang paling sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan sebab-sebab lain yang jarang terjadi. 3) Khalafiyyah Yaitu kepemilikan seseorang terhadap barang dengan cara pergantian. Baik berupa pergantian orang yang dikenal dengan istilah warisan, atau berupa pergantian barang yang dikenal dengan istilah ganti rugi (taḍmīn). Khalafiyyah ada dua macam: a) Warisan Yaitu proses pemindahan kepemilikan secara otomatis dengan hukum syariat dari seseorang kepada ahli waris atas harta warisan yang ditinggalkan. b) Ganti Rugi (Taḍmīn) Yaitu kewajiban ganti rugi atas barang, yang dibebankan kepada seseorang yang merusak barang orang lain. 4) Tawallud Min Al-Mamlūk Yaitu kepemilikan seseorang terhadap barang hasil dari apa yang dimiliki. Seperti buah dari pohon yang dimiliki, anak sapi dari sapi yang dimiliki dan susu kambing dari kambing yang dimiliki. b. Kepemilikan Tidak Utuh Kepemilikan tidak utuh adalah kepemilikan seseorang terhadap barang atau manfaatnya saja. 1) Kepemilikan Barang Kepemilikan barang adalah kepemilikan seseorang terhadap barangnya saja. Yakni barangnya ia miliki, sedangkan manfaatnya milik orang lain. Seperti Ahmad berwasiat kepada Yasir untuk menempati rumah Ahmad selama Yasir hidup. Jika Ahmad meninggal, maka kepemilikan rumah (barangnya saja) berpindah kepada ahli waris Ahmad dengan sistem warisan. Sedangkan manfaat rumah milik Yasir selama ia hidup dengan sistem wasiat.
Jika Yasir meninggal, maka kepemilikan rumah baik barang dan manfaatnya kembali kepada ahli waris Ahmad. Sehingga kepemilikan ahli waris Ahmad terhadap rumah setelah Yasir meninggal menjadi kepemilikan utuh, yakni kepemilikan terhadap barang sekaligus manfaanya. Sedangkan selama Yasir masih hidup, kepemilikan Ahli waris Ahmad terhadap rumah adalah kepemilikan tidak utuh. Karena kepemilikan mereka hanya kepemilikan terhadap barangnya saja yang berkonsekuensi tidak boleh memanfaatkan rumah (menempati) selama Yasir masih hidup. 2) Kepemilikan Manfaat Kepemilikan manfaat adalah kepemilikan seseorang terhadap manfaatnya saja sedangkan barangnya milik orang lain. Sebab-sebab kepemilikan manfaat ada empat: a) Transaksi Pinjam-Meminjam (I’ārah) Pihak peminjam (musta’īr) tidak boleh meminjamkan barang pinjaman kepada orang lain. Karena transaksi i’ārah hanya sebuah perizinan untuk menggunakan manfaat barang. Sehingga ia tidak memiliki manfaat barang pinjaman, hanya boleh menggunakan manfaatnya saja. b) Transaksi Persewaan (Ijārah) Pihak penyewa boleh meminjamkan atau menyewakan barang sewaan kepada orang lain. Karena transaksi ijārah adalah memberikan kepemilikan manfaat. Maka manfaat barang dalam transaksi ijārah milik penyewa selama waktu yang telah ditentukan. Namun pihak penyewa tidak boleh menjual barang sewaan karena ia tidak memiliki barangnya, hanya memiliki manfaatnya saja. c) Transaksi Wakaf Pihak mauqūf ‘alaih (penerima wakaf) boleh menggunakan barang wakaf atau mempersilahkan orang lain untuk menggunakannya jika ada izin dari pihak wāqif (orang yang mewakafkan barang), karena wakaf adalah memberikan kepemilikan manfaat kepada mauqūf ‘alaih dengan cara pembekuan tasaruf pada fisiknya. Sehingga mauqūf ‘alaih tidak boleh menjual barang wakaf. Karena ia hanya memiliki manfaatnya saja, tidak memiliki barangnya. d) Transaksi Wasiat Manfaat Seperti dalam contoh kepemilikan barang. Selama Yasir hidup, manfaat rumah milik yasir sedangkan fisik rumah milik ahli waris Ahmad.
4. Selesainya Hak Pemanfaatan Barang Hak pemanfaatan barang dinyatakan selesai dengan tiga hal: a. Habisnya waktu yang telah disepakati dalam transaksi. Seperti transaksi persewaan barang dengan batas waktu satu bulan. Maka setelah satu bulan, pihak penyewa tidak berhak memanfaatkan barang sewaan lagi. Karena hak pemanfaatannya telah selesai. b. Rusaknya barang. Seperti barang sewaan atau barang pinjaman rusak dalam pertengahan waktu yang telah ditentukan. c. Meninggalnya pemilik barang. Artinya jika pemilik barang meninggal maka hak pemanfaatan barang dinyatakan selesai. Ini berlaku jika hak pemanfaatan barang dimiliki dengan cara transaksi i’ārah, karena transaksi i’ārah termasuk akad jā’iz (transaksi yang tidak mengikat). Jika hak pemanfaatan barang dimiliki dengan cara transaksi ijārah maka hak pemanfaatan barang tidak dinyatakan selesai walaupun pemilik barang meninggal, karena transaksi ijārah termasuk akad lāzim (transaksi yang mengikat). Begitu juga jika hak pemanfaatan barang dimiliki dengan cara transaksi wasiat atau wakaf, maka hak pemanfaatan barang tidak dinyatakan selesai dengan meninggalnya pemilik barang. Karena hak pemanfaatan barang dalam transaksi wasiat baru dimulai setelah pemilik barang meninggal. Sedangkan hak pemanfaatan barang dalam akad wakaf tanpa batas waktu dan tidak bisa dinyatakan selesai karena pemilik barang meninggal.
. AKAD (TRANSAKSI) 1. DALIL Dalil yang mendasari legalitas akad adalah firman Allah Swt. QS. Al-Māidah (5) :
1 َ:َ (الْائدة َِ ود ُقُعْال ِبَوا ُفْ و
َ
أَوا ُنَآمََ ين ِ الاذ َاَ هُّ ي
َ
َ)5 أَاَي
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. (QS. Al-Māidah [5] : 1) 2. DEFINISI Secara bahasa akad adalah hubungan antara beberapa hal. Secara istilah akad memiliki dua makna, yakni makna umum dan makna khusus. Definisi akad secara umum adalah rencana seseorang untuk mengerjakan sesuatu, baik atas dasar keinginan tunggal (satu orang) seperti akad wakaf dan talak, atau butuh dua keinginan (dua orang) untuk mewujudkannya seperti akad jual beli dan akad perwakilan. Adapun definisi akad secara khusus adalah ījāb dan qabūl dengan cara yang dilegalkan syariat dan berkonsekuensi terhadap barang yang menjadi obyek akad. Sehingga mengecualikan cara yang tidak dilegalkan syariat seperti kesepakatan untuk membunuh seseorang, maka tidak dinamakan akad.
3. STRUKTUR AKAD Struktur akad terdiri dari empat unsur:
a. Ṣīgah Yaitu ījāb dan qabūl yang menunjukkan keinginan pelaku akad untuk melangsungkan akad baik dengan cara ucapan, pekerjaan (mu’āṭāh), isyarat dan tulisan.
b. Āqid Ījāb dan qabūl tidak mungkin terealisasi tanpa adanya pelaku akad. Maka dalam akad harus ada āqid (pelaku akad) untuk melangsungkan akad.
c. Ma’qūd ‘alaih Yaitu obyek akad. Ma’qūd ‘alaih ada kalanya berupa barang seperti dalam akad hibah (pemberian), atau tidak berupa barang seperti mempelai wanita dalam akad pernikahan, atau berupa manfaat seperti dalam akad ijārah (persewaan).
d. Tujuan akad Yaitu tujuan pelaku akad untuk melangsungkan akad. Tujuan akad akan berbeda dalam setiap akad. Seperti:
1) Akad Bai’, tujuan akad : memindah kepemilikan barang kepada pembeli dengan alat pembayaran.
2) Akad Ijārah, tujuan akad : memindah kepemilikan manfaat barang kepada penyewa dengan alat pembayaran.
3) Akad Hibah, tujuan akad : memindah kepemilikan barang tanpa imbalan.
a. Ṣīgah Yaitu ījāb dan qabūl yang menunjukkan keinginan pelaku akad untuk melangsungkan akad baik dengan cara ucapan, pekerjaan (mu’āṭāh), isyarat dan tulisan.
b. Āqid Ījāb dan qabūl tidak mungkin terealisasi tanpa adanya pelaku akad. Maka dalam akad harus ada āqid (pelaku akad) untuk melangsungkan akad
c. Macam-macam akad berdasarkan adanya imbalan atau tidak ada dua: 1) Akad Mu’āwaḍah Yaitu akad yang didalamnya terdapat imbalan (‘iwaḍ) baik dari satu pihak atau kedua belah pihak. Seperti akad bai’ (transaksi jual beli), dan akad ijārah (transaksi persewaan). Imbalan (‘iwaḍ) dalam transaksi jenis ini disyaratkan harus diketahui oleh kedua pelaku akad, sehingga tidak sah jika imbalan tidak diketahui salah satu atau kedua pelaku akad. Akad mu’āwaḍah terbagi menjadi dua: a) Mu’āwaḍah Maḥḍah Yaitu setiap akad yang obyek akadnya bersifat materi dari kedua belah
pihak baik secara hakiki seperti akad jual beli dan salam, atau secara hukman seperti akad ijārah dan muḍārabah. b) Mu’āwaḍah Gairu Maḥḍah Yaitu setiap akad yang obyek akadnya bersifat materi dari salah satu pihak seperti akad nikah dan khulu’ atau tidak bersifat materi dari kedua belah pihak seperti akad hudnah (genjatan senjata) dan akad qaḍā’ (kontrak hakim). 2) Akad Tabarru’ Yaitu akad yang didalamnya tidak terdapat imbalan (‘iwaḍ). Seperti akad hibah (transaksi pemberian). Akad tabarru’ ada lima: a) Wasiat b) ‘Itqun (memerdekakan budak) c) Hibah (pemberian) d) Wakaf e) Ibāḥaḥ (perizinan untuk menggunakan barang). Seperti perizinan untuk meminum susu kambing kepada fakir miskin. Maka pihak yang mendapatkan izin tidak berhak mentasarufkan layaknya pemilik barang. Hanya boleh sebatas meminum, tidak boleh memberikan atau menjual pada orang lain. d. Macam-macam akad berdasarkan terpenuhi rukun dan tidaknya terbagi menjadi dua: 1) Akad Ṣaḥīḥ Yaitu akad yang terpenuhi semua rukun dan syaratnya. Akad yang ṣaḥīḥ akan berkonsekuensi sebagaimana tujuan akad. Seperti konsekuensi berupa pemindahan kepemilikan barang terhadap pembeli dan pemindahan kepemilikan alat pembayaran terhadap penjual dalam transaksi jual beli, atau konsekuensi berupa pemindahan kepemilikan hak pemanfaatan barang terhadap pihak penyewa dan pemindahan kepemilikan alat pembayaran (ongkos sewa) terhadap pihak yang menyewakan dalam transaksi persewaan. 2) Akad Fāsid Yaitu akad yang tidak terpenuhi semua rukun dan syaratnya. Seperti pelaku akad adalah orang gila atau anak kecil. Kebalikan dari akad ṣaḥīh, akad fāsid tidak berkonsekuensi apapun. Maka transaksi jual beli yang dilakukan orang
gila atau anak kecil tidak berkonsekuensi pemindahan kepemilikan. Dalam arti, barang tetap milik penjual dan alat pembayaran tetap milik pembeli. e. Macam-macam akad berdasarkan adanya batas waktu yang ditentukan atau tidak terbagi menjadi dua: 1) Akad Mu’aqqat Yaitu akad yang disyaratkan harus ada penyebutan batas waktu. Seperti akad ijārah (transaksi persewaan) dan akad musāqāh (transaksi pengairan). Sehingga tidak sah jika jenis transaksi ini dilakukan tanpa ada penyebutan batas waktu. 2) Akad Muṭlaq Yaitu akad yang tidak diharuskan ada penyebutan batas waktu. Artinya, penyebutan batas waktu dalam transaksi ini tidak menjadi rukun bahkan jika ada penyebutan batas waktu akan menyebabkan transaksi tidak sah. Seperti akad nikah dan akad wakaf. Jika dalam transaksi ada penyebutan batas waktu seperti “saya nikahkan Ahmad dengan Fatimah dengan batas waktu satu tahun” maka akad nikah batal. Berbeda dengan akad mu’aqqat, karena penyebutan batas waktu dalam akad mu’aqqat menjadi rukun.