logo-sekolah-islam-shafta

TEKNIK REINFORCEMENT

Istilah penguatan (reinforcement) berasal dari Skinner, salah seorang ahli psikologi belajar behavioristik. Mengartikan reinforcement ini sebagai setiap konsekuensi atau dampak tingkah laku yang memperkuat tingkah laku tertentu. Penguatan adalah respon positif dalam pembelajaran yang diberikan guru terhadap perilaku peserta didik yang positif dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan perilaku tersebut. Penguatan merupakan respon terhadap suatu tingkah laku yang sengaja diberikan agar tingkah laku tersebut dapat terulang kembali. Penguatan yang diberikan oleh guru merupakan hal yang sangat penting bagi peserta didik.[1]

Menurut Moh. Uzer Usman penguatan (reinforcement) adalah segala bentuk respon, apakah bersifat verbal ataupun nonverbal, yang merupakan bagian dari modifikasi tingkah laku guru terhadap tingkah laku siswa, yang bertujuan untuk memberikan informasi atau umpan balik bagi si penerima (siswa) atas perbuatannya sebagai suatu tindakan dorongan ataupun koreksi. Penguatan dikatakan juga sebagai respon terhadap tingkah laku yang dapat meningkatkan kemungkinan berulangnya tingkah laku tersebut. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk membesarkan hati siswa agar mereka lebih giat berpartisipasi untuk interaksi dalam belajar mengajar.[2]

Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa penguatan adalah salah satu bentuk penciptaan suasana belajar yang menyenangkan yang telah diberikan oleh guru kepada siswa agar tingkah laku positif dapat meningkat.

PERILAKU MENYIMPANG

            Perilaku menyimpang adalah perilaku yang tidak sesuai dengan nilai atau norma sosial yang berlaku di lingkungan baik dalam sudut pandang individu maupun pandangan kelompok sosial. Dalam kehidupan masyarakat, semua tindakan manusia dibatasi oleh aturan (norma) untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat. Perilaku menyimpang yang terjadi di kalangan masyarakat adalah suatu kenyataan yang terjadi di zaman modern ini. Berdasarkan pelakunya, penyimpangan perilaku dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu : penyimpangan individual dimana pelakunya hanya seseorang dan perilaku yang dilakukannya seperti membandel, membangkang, melanggar, merusuh dan berbohong. Kedua adalah penyimpangan perkelompok dimana pelaku dalam melakukan penyimpangan secara berkelompok seperti tawuran dan penyelundupan narkotika atau obat-obatan terlarang, dan terakhir adalah penyimpangan campuran dimana penyimpangan dilakukan oleh suatu golongan sosial yang memiliki kelompok atau komunitas tertentu, sehingga individu ataupun kelompok didalamnya taat dan tunduk kepada norma kelompok atau komunitas dan mengabaikan norma masyarakat yang berlaku. Misalnya, remaja yang putus sekolah, pengangguran, korban dari broken home, dengan dibawah pimpinan seorang tokoh mereka mengelompok ke dalam organisasi rahasia yang menyimpang dari norma umum.

Siswa dengan hambatan emosi dan perilaku adalah anak yang mengalami hambatan dalam emosi dan perilaku dimana perilaku yang dilakukan tidak sesuai dengan norma atau aturan yang berlaku sehingga menimbulkan permasalahan di lingkungan tersebut. Karakteristik anak dengan hambatan emosi dan perilaku diantaranya sulit mengikuti peraturan baik di lingkungan masyarakat, rumah dan sekolah, membolos sekolah, tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, tidak ada rasa ingin tahu terhadap isu-isu yang terjadi di sekitar, bersifat acuh tak acuh, memiliki rentang perhatian yang pendek sehingga sulit mengikuti peraturan yang ada. Berdasarkan karakteristik tersebut anak dengan hambatan emosi dan perilaku dapat dikategorikan kedalam anak yang memiliki perilaku menyimpang. Untuk mencegah atau mereduksi perilaku menyimpang pada seseorang upaya yang sering digunakan adalah modifikasi perilaku. Bentuk – bentuk dari perilaku menyimpang ada banyak sekali, antara lain yaitu Bullying, Emosional, Provokator, Berkelahi, Membolos, Ramai pada saat proses pembelajaran berlangsung, Sering keluar masuk kelas tanpa izin dan tujuan yang jelas, membuat gaduh dan onar, serta berbicara kotor. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi siswa berbuat demikian antara lain yaitu:

  1. Faktor Keluarga

Keluarga adalah hal utama yang bisa menyebabkan anak berprilaku negatif, karena hubungan antara anak dan orang tuanya ataupun cara lain anak untuk mendapatkan perhatian di lingkungan luar. Itu bisa saja terjadi dikarenakan:

  1. Kurangnya perhatian orang tua, sering kali orang tua yang sibuk bekerja sehingga siswa tidak dapat perhatian dan pengawasan yang lebih. Karena sama-sama sibuk bekerja siswa menjadi kurang terurus dan terabaikan.
  2. Perceraian orang tua, masalah yang ada dalam keluarga bisa jadi penyebab siswa mempunyai perilaku negatif. Siswa mencari kesenangan sehingga melampiaskan kepada temannya. Dampak percerain dari orang tua bisa mengakibatkan siswa menjadi stress dan hasil bealajar menjadi turun.
  3. Ekonomi, faktor dari ekonomi yang kurang bisa mepengaruhi siswa mempunyai perilaku negatif. Orang tua yang sibuk bekerja dan sering terjadi cekcok keluarga karena kebutuhan ekonominya kurang sehingga kebutuhan siswa tidak bisa terpenuhi.
  4. Faktor Lingkungan

Lingkungan juga berpengaruh sebagai tumbuh kembang anak dalam berprilaku. Adanya contoh perilaku baik dan buruk di lingkungan menjadi contoh anak untuk memilih perilaku mana yang ingin mereka tiru. Anak akan merekam kejadian dan meniru berdasarkan apa yang mereka lihat di lingkungan maupun dalam pergaulannya. Contohnya seperti:

  1. Berteman dengan yang lebih dewasa, karena orang tua sibuk bekerja orang tua tidak bisa mengawasi siswa berteman dengan siapa saja.
  2. Kondisi lingkungan yang mengharuskan siswa tinggal di pemukiman kos, di pemukiman ini bisa menyebabkan siswa mempunyai perilaku negatif.
  3. Adanya teman yang mengajak bermain di warkop, sehingga pergaulan siswa mengikuti pergaulan orang dewasa contoh hal kecil yaitu berkata kotor yang sering diucapkan.

Perilaku negatif merupakan perilaku yang tidak baik dan bisa merugikan diri sendiri. Dalam dunia pendidikan perilaku negatif ini sering sekali disebut dengan kenakalan siswa dan dimiliki beberapa siswa. Menurut Ardiani et al.(2018), bentuk kenakalan yang terjadi pada siswa semata-mata hanya untuk mencari perhatian dari guru. Maka dari itu siswa yang mempunyai perilaku negatif terkadang mempunyai suatu permasalahan dari dalam dirinya.

Perilaku negatif adalah setiap perilaku yang tidak berhasil menyesuikan diri dengan kehendak-kehendak masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Perilaku negatif juga dapat dipahami sebagai tingkah laku yang melanggar norma yang dianggap salah oleh masyarakat secara normatik penyimpangan itu adalah kejahatan terhadap norma dimana tidak seharusnya seseorang melakukan hal-hal yang melanggar norma tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku negatif merupakan perilaku menyimpang yang dianggap oleh sejumlah orang dianggap hal yang tercela dan diluar batas toleransi serta dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat. Dalam suatu perkumpulan masyarakat, organisasi, sekolah ataupun pondok pesantren penyimpangan prilaku yang dilakukan seseorang dapat sangat mungkin terjadi. Maka diperlukan suatu aturan yang dapat meminimalisir perilaku menyimpang tersebut. Langkah awal penerapan reinforcement adalah mengklasisfikasi pelanggaran.

Teknik reinforcement merupakan teknik yang digunakan untuk mendorong konseli kearah perilaku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) atau punishment (hukuman). Reinforcement terbagi menjadi dua, yaitu reinforcement positif dan reinforcement negatif. Ormrod mengatakan, reinforcement positif adalah konsekuensi yang menghasilkan peningkatan perilaku melalui kehadiran sebuah stimulus. Stimulus tersebut seperti pujian, hadiah, dan senyuman kepada peserta didik. Sedangkan Penguatan negatif, adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang merugikan (tidak menyenangkan). Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda/tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa, dll).

[1] Barnawi, Mohamad Arifin, Etika dan Profesi Pendidikan, (Yogyakarta Ar Ruuz, 2012), hal 208.

[2] Uzer Usman, Menjadi Guru Professional, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995), hal. 73.