MEMPERINDAH BACAAN AL QUR AN DENGAN NADA

suara

Dalam tradisi Islam, Al-Qur’an bukan hanya kitab suci yang berisi hukum dan petunjuk, tetapi juga wahyu yang hidup, yang harus dibaca, direnungkan, dan dihayati. Anjuran untuk “menghias” Al-Qur’an dengan suara merdu mencerminkan dua dimensi penting:

Estetika dalam Ibadah: Islam mengakui keindahan sebagai bagian dari ibadah. Suara yang merdu saat membaca Al-Qur’an tidak hanya meningkatkan pengalaman spiritual pembaca, tetapi juga menyentuh hati pendengar, sehingga memperkuat daya tarik Al-Qur’an sebagai kalam ilahi. Dalam banyak riwayat, Nabi Muhammad SAW memuji para sahabat yang memiliki suara indah, seperti Abu Musa al-Asy’ari dan Bilal bin Rabah, yang menunjukkan bahwa keindahan suara adalah anugerah yang harus disyukuri dan dimanfaatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Kekhusyukan dan Keikhlasan: Menghias Al-Qur’an dengan suara bukan berarti sekadar mempercantik secara lahiriah, tetapi juga mencerminkan keikhlasan hati. Dalam Tafsir Ibnu Katsir dan karya ulama lainnya, membaca Al-Qur’an dengan tartil (perlahan, jelas, dan penuh perenungan) sangat dianjurkan, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an sendiri: وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا (Surah Al-Muzzammil: 4). Suara yang merdu harus diimbangi dengan pemahaman makna dan penghayatan, agar bacaan tidak menjadi sekadar seni tanpa ruh.

 

زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ وَحَدِيثِ لَقَدْ أُوتِيَ هَذَا مِزْمَارًا وَحَدِيثُ مَا أَذِنَ اللَّهُ وَحَدِيثِ لِلَّهِ أَشَدُّ أُذُنًا

 

Kalimat yang diberikan dimulai dengan frasa: زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ yang secara harfiah berarti “Hiasilah Al-Qur’an dengan suara kalian.” Ungkapan ini merujuk pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh beberapa sumber, seperti dalam Sunan Abu Dawud dan Sunan an-Nasa’i, di mana Nabi Muhammad SAW mendorong umat Islam untuk memperindah bacaan Al-Qur’an dengan suara yang merdu. Hadis ini menekankan pentingnya melantunkan Al-Qur’an dengan penuh keindahan, bukan hanya sekadar membaca teks, tetapi juga menghidupkan maknanya melalui intonasi dan kepekaan emosional.

Frasa berikutnya, وَحَدِيثِ لَقَدْ أُوتِيَ هَذَا مِزْمَارًا, tampaknya merujuk pada hadis lain yang menyebutkan bahwa seseorang yang memiliki suara merdu saat membaca Al-Qur’an diibaratkan seperti memiliki mizmar (alat musik tiup, sering diterjemahkan sebagai “seruling” dalam konteks ini). Hadis ini, misalnya, dapat ditemukan dalam Sahih al-Bukhari, yang menyatakan bahwa Nabi SAW memuji seseorang dengan suara merdu, seperti Abu Musa al-Asy’ari, dengan mengatakan bahwa ia telah diberi “seruling dari seruling keluarga Dawud” (merujuk pada keindahan suara Nabi Dawud AS saat melantunkan Zabur).

Penggunaan istilah mizmar dalam hadis menarik untuk dianalisis. Mizmar secara harfiah merujuk pada alat musik tiup, tetapi dalam konteks ini digunakan secara metaforis untuk menggambarkan keindahan suara seseorang saat membaca Al-Qur’an. Perbandingan dengan Nabi Dawud AS, yang dikenal karena keindahan suaranya saat melantunkan Zabur, menunjukkan bahwa suara merdu adalah karunia ilahi yang dapat digunakan untuk memuliakan Allah. Dalam Al-Qur’an, Nabi Dawud digambarkan sebagai sosok yang mampu meluluhkan hati dengan suaranya, bahkan membuat gunung dan burung ikut bertasbih bersamanya

۞ وَلَقَدْ اٰتَيْنَا دَاوٗدَ مِنَّا فَضْلًاۗ يٰجِبَالُ اَوِّبِيْ مَعَهٗ وَالطَّيْرَۚ وَاَلَنَّا لَهُ الْحَدِيْدَۙ ۝١٠

wa laqad âtainâ dâwûda minnâ fadllâ, yâ jibâlu awwibî ma‘ahû wath-thaîr, wa alannâ lahul-adîd

Sungguh, benar-benar telah Kami anugerahkan kepada Daud karunia dari Kami. (Kami berfirman), “Wahai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang kali bersama Daud!” Kami telah melunakkan besi untuknya. (Surah Saba: 10).

Perbandingan ini juga mengandung pelajaran bahwa keindahan suara harus digunakan untuk tujuan yang mulia, bukan untuk kesombongan atau pamer. Dalam tradisi Islam, qari (pembaca Al-Qur’an) yang memiliki suara merdu sering dihormati, tetapi mereka juga diingatkan untuk menjaga niat agar bacaan mereka semata-mata untuk Allah, bukan untuk popularitas atau keuntungan duniawi.